Home Halaman Depan

Halaman Depan

[td_block_text_with_title custom_title=”Tentang Dialoka”]

Kami percaya bahwa logika harus disampaikan lewat komunikasi yang baik. Sebaliknya, komunikasi yang baik itu harus didasari oleh logika Proses timbal balik antara logika dan komunikasi ini yang kami sebut sebagai Dialektika Logika & Komunikasi (DIALOKA)
DIALOKA berdiri pada awal tahun 2020 oleh para praktisi dan akademisi yang memiliki latar belakang pengetahuan dan berpengalaman dalam bidang komunikasi dan sosial kemasyarakatan.
Dialoka bertujuan menjadi jembatan penghubung antar pemangku kepentingan guna mendorong proses partisipasi aktif masyarakat dalam perubahan sosial di tingkat lokal, nasional dan global.
Untuk mewujudkan tujuan itu, kami mengembangkan program penelitian, pendidikan, serta pemberdayaan masyarakat termasuk kaum muda dan kelompok marjinal untuk mengambil peran aktif dalam pembangunan masyarakat yang inklusif dan berkelanjutan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial.

[/td_block_text_with_title]

[td_block_text_with_title custom_title=”Profil Pendiri”][/td_block_text_with_title]

DYAH PITALOKA

Menyelesaikan PhD di University of Oklahoma pada tahun 2014 sebagai penerima beasiswa Fulbright, Dyah memiliki pengalaman penelitian di bidang komunikasi kesehatan, globalisasi dan pembangunan, isu-isu ketimpangan sosial dan marjinalisasi, serta gerakan dan perubahan sosial di Asia Tenggara dan Australia. Penelitian yang dilakukan berfokus pada aspek-aspek sosial, budaya, politik dan struktural yang melingkupi konteks dan pemahaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan (wellbeing).

Keahlian di bidang etnografi dan penelitian kualitatif membuat Dyah terlibat dalam berbagai kegiatan penelitian, baik sebagai peneliti utama maupun partner peneliti (co-researcher) untuk bidang-bidang yang terkait dengan budaya & masyarakat (culture & society), pemberdayaan masyarakat (community empowerment) dan keadilan sosial (social justice) di Asia Tenggara. Penelitiannya telah dipublikasikan di berbagai jurnal terkemuka seperti Health Communication; Qualitative Health Research; Frontiers Communication, Information, Communication & Society; dan Social Movement Studies.

FRENIA T.A.D.S NABABAN

Memiliki pengalaman lebih dari 15 tahun menekuni perubahan sosial di Indonesia baik sebagai relawan hingga terakhir menjabat sebagai Direktur Program dan Advokasi di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat. Saat ini aktif menjadi pengajar dan peneliti komunikasi di Universitas swasta di Indonesia dan sekaligus menjadi konsultan komunikasi strategis di organisasi yang bergerak di bidang pelayanan publik. Ia juga kerap memfasilitasi pelatihan atau menjadi narasumber dalam bidang advokasi, kampanye dan komunikasi publik, komunikasi dan gerakan sosial.

Mendapatkan beasiswa unggulan ketika menyelesaikan studinya di Magister Komunikasi Universitas Indonesia pada tahun 2012. Hingga kini Frenia aktif terlibat di lebih dari 15 kemitraan dan jaringan nasional dan global yang berkaitan dengan disabilitas, hak anak, hak perempuan, kesehatan seksual dan reproduksi, hak asasi manusia, dan keadilan sosial.

HENY WIDYANINGRUM

Heny Widyaningrum, atau biasa dipanggil Heny adalah Spesialis Kesehatan Seksual dan Repdroduksi. Menyelesaikan studi di Akademi Analis Kesehatan pada tahun 1995, dan pada tahun 2012 menyelesaikan studi pada Fakultas Ilmu Kesehatan Jurusan Manajemen Rumah Sakit.

Punya pengalaman lebih dari 15 tahun dalam bidang pengawasan mutu dan manajemen operasional klnik kesehatan reproduksi dan keluarga berencana.  Berbekal pengetahuan dan pengalaman tersebut, Heny sering diminta menjadi pelatih atau fasilitator dalam berbagai pelatihan konseling, manajemen sistim informasi, tata laksana layanan klinis & psikososial bagi penyintas kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) dan Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD).

Bersama para praktisi di lingkarannya, aktif mengembangkan modul, pedoman, standar operasional prosedur dan materi komunikasi, edukasi dan informasi terkait hak kesehatan seksual dan reproduksi.

Sepanjang tahun 2018 – 2020 memimpin kegiatan operasional layanan kesehatan reproduksi, keluarga berencana, layanan klinis dan dukungan psikososial bagi penyintas KBG dan KTD melalui penyediaan Klinik Statis dan Tenda Kesehatan Darurat untuk program tanggap darurat di Lombok (2018 – 2019), Palu (2018 – 2019), Selat Sunda (2019 – 2020) dan Program Response Pandemi COVID – 19 (2020).

MUHEMI

Lebih dari 20 tahun bekerja untuk pemberdayaan masyarakat dan program kemanusiaan yang terkait dengan isu pendidikan, psikososial, kesehatan reproduksi, HIV & AIDS, gender, dan literasi media. Berpengalaman dalam mengembangkan kegiatan belajar dan bermain bagi anak-anak jalanan, anak petani dan nelayan serta mendampingi anak-anak dan keluarga korban konflik Aceh yang mengungsi ke Sumatera Utara sepanjang periode 1998 – 2003. Menjadi pekerja kemanusiaan pada Gempa & Tsunami Aceh (2004), Gempa Padang (2009), Gempa Lombok (2018), Gempa, Tsunami dan Likuifaksi Palu (2018), Tsunami Selat Sunda (2018). Saat ini sedang menyelesaikan studi S2 bidang Komunikasi Politik.

RIANTO ABDUH SYAKUR

Menyelesaikan studi Ilmu Komunikasi dari Universitas Diponegoro (2008) dan Manajemen Komunikasi Universitas indonesia (2011), kemudian ia melanjutkan bekerja di industri media dan pemberdayaan remaja selama 12 tahun terakhir. Berpengalaman menjadi konsultan dalam bidang tulis menulis, manajemen media, branding, dan pengembangan media sosial untuk perubahan di berbagai perusahaan, institusi pemerintahan dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Terlibat dalam berbagai kampanye sosial terkait isu hak asasi manusia dan kesehatan seksual dan reproduksi. Mengisi hari-hari dengan menulis di web pribadinya www.syakurian.com, memproduksi podcast Cawan Wicara dan aktif meracik kopi serta mengkampanyekan #NgopiAsyikTanpaPlastik – ajakan ngopi ramah lingkungan – melalui Kopincut Jakarta.

[td_block_text_with_title custom_title=”Visi Misi” h_color=”#dd9933″]

Menjadi wadah independen dan mandiri untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pengembangan sosial budaya, kemanusiaan, kemasyarakatan, dan lingkungan di tingkat lokal, nasional dan global.

[/td_block_text_with_title]

[td_block_text_with_title custom_title=”Analogikami” h_color=”#dd9933″]Telah beredar surat Kementerian Kesehatan RI tertanggal 3 Agustus 2020 perihal surat peringatan yang ditujukan kepada pemilik akun twitter @aqfiazfan. Dalam surat yang ditanda tangani Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat ini Kementerian Kesehatan “menilai unggahan tersebut, memuat unsur penghinaan dan/atau pencemaran nama baik Menteri Kesehatan dan Kementerian Kesehatan sebagaimana dimaksud pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.” Berdasarkan hal tersebut kami, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemantauan Penanganan Covid-19 mengecam langkah yang diambil oleh Kementerian Kesehatan tersebut dengan alasan-alasan yang kami jelaskan di bawah ini:

1. Akun twitter @aqfiazfan memberikan kritik terhadap kinerja Menteri Kesehatan yang bertugas memimpin Kementerian Kesehatan. Kementerian Kesehatan adalah lembaga teknis yang semestinya fokus pada perbaikan dan pembenahan penanganan Covid-19 di Indonesia. Dalam catatan kami terdapat beberapa hal yang harus disorot dan kritisi atas kinerja Menteri Kesehatan dalam memimpin kondisi darurat kesehatan masyarakat ini antara lain:

  • Besarnya jumlah orang yang sakit dan meninggal karena terinfeksi virus corona, pasien suspek dan probable yang meninggal mengindikasikan bahwa Pemerintah, di bawah Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menunjukkan kegagalan Pemerintah dalam mencegah penyebaran kasus, dan mempersiapkan layanan kesehatan penanganan Covid-19 secara serius serta menunjukkan rendahnya kemampuan Menteri Kesehatan Terawan dalam merespon pandemi.
  • Tingginya angka penularan dan fatalitas kasus Covid-19 pada tenaga kesehatan Indonesia mengindikasikan kegagalan Kementerian Kesehatan memberikan perlindungan pada tenakes sebagai garda terdepan, melalui kecukupan APD, regular tes, maupun kebijakan yang tepat untuk melandaikan kurva epidemiologis
  • Ketidakakuratan dan transparansi informasi dan data yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan yang memicu ketidaktepatan penanganan dan misinformasi di tengah masyarakat menunjukkan kelemahan kinerja Menteri Kesehatan Terawan.
  • Tidak kunjung dipenuhinya target jumlah tes berbasis RT-PCR sesuai dengan anjuran WHO: 1 orang / 1.000 penduduk setiap minggu hingga bulan kelima masa pandemi di Indonesia merupakan bukti tidak piawainya Menteri Kesehatan Terawan dalam menangan pandemi di tanah air. Padahal jumlah tes ini sangat menentukan deteksi dan diagnosa dini kasus Covid-19 sehingga bisa dijadikan basis pengendalian dan penanganan Covid-19 yang efektif.
  • Selain itu, minimnya penyerapan anggaran kesehatan yang dialokasikan sebesar Rp 87,55 triliun yang hingga kini baru terserap 7% juga menun jukkan betapa kinerja Menteri Kesehatan Terawan kurang bagus. Anggaran tersebut seharusnya dialokasikan untuk tiga klaster, yaitu kepada gugus tugas di sebesar RP 3,5 triliun yang ditujukan untuk pengadaan APD, alat kesehatan, test kit, klaim biaya perawatan, mobilisasi dari logistik, karantina dan pemulangan WNI di luar negeri. Klaster selanjutnya adalah tambahan belanja stimulus sebesar Rp 75 triliun yang mencakup insentif tenaga kesehatan, santunan kematian tenaga kesehatan, bantuan iuran BPJS Kesehatan, dan belanja penanganan kesehatan lainnya. Sementara klaster ketiga adalah insentif perpajakan sebesar Rp 9,05 triliun, anggarannya untuk pembebasan PPh Pasal 23 termasuk jasa dan honor tenaga kesehatan, pembebasan PPN DTP, dan pembebasan bea masuk impor.

2. Cuitan tersebut menyebutkan “anjing ini”, artinya mengacu pada “seekor anjing di Jerman yang mampu mendeteksi orang yang terinfeksi Covid-19 dengan tingkat akurasi 94%, dan bukan anjing pada umumnya. Karena itu menyebutkan “anjing ini” tidak sama dengan menyebut atau mengumpat “anjing!”. Kami kuatir Kementerian Kesehatan tidak cukup jernih melihat konteks cuitan tersebut dan terfokus pada kebiasaan umpatan menggunakan kata “anjing.” Padahal cuitan tersebut diulang dalam surat Kementerian Kesehatan sendiri.

3. Cuitan tersebut ditujukan untuk Menteri Kesehatan dan bukan Kementerian Kesehatan. Menteri Kesehatan adalah jabatan yang memiliki tugas dan kewenangan dalam memimpin Kementerian yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang Kesehatan. Sebagai suatu jabatan, orang yang menempatinya bisa saja berganti apabila dianggap tidak mampu menjalankan fungsinya memimpin Kementerian Kesehatan. Dalam hal ini cuitan diarahkan kepada Menteri, yang mempermasalahkan kinerja Menteri dalam menjalan tugas dan kewenangannya. Dengan kata lain cuitan ini justru sebenarnya sedang menyelamatkan Kementerian Kesehatan dan memisahkannya dengan kritik atas kinerja Menteri terkait.

4. Selain tidak mampu melihat tujuan cuitan kepada Menteri Kesehatan dan bukan Kemeterian Kesehatan, surat Kementerian Kesehatan menunjukkan sikap anti kritik. Dalam masa sulit seperti Pandemi Covid-19 ini kritik sesungguhnya lebih diperlukan karena dapat memberikan info dan pengingat. Kritik seharusnya juga dapat dilihat sebagai ekspresi masyarakat yang merasakan adanya pengurusan pandemi yang tidak beres. Kritik tersebut hanya menunjukkan ketidakberdayaan masyarakat akan tidak adanya mekanisme pertanggungjawaban kegagalan pemerintah kepada masyarakat. Cuitan balasan Kementerian Kesehatan nampak berusaha menunjukkan ketimpangan kuasa yang dimiliki pemerintah untuk membungkam dan menekan masyarakat yang melemparkan kritik.

5. Dalam negara demokrasi yang modern, maka kritik terhadap pejabat dan Lembaga Negara harus dilindungi. Hal yang perlu dilihat adalah substansi dari kritik tersebut, bukan hanya soal bentuk kritik yang dilemparkan. Hanya terpaku pada bentuk kritik menunjukkan ketidakmampuan aparatur negara dalam mengusung visi Indonesia sebagai negara demokrasi yang modern dan perlindungan kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas Kami meminta:

Pertama, Kementerian Kesehatan meminta maaf kepada publik karena telah melakukan upaya awal kriminalisasi terhadap kritik publik atas kinerja dari Menteri dan Kementerian Kesehatan.

Kedua, Meminta Presiden mengevaluasi kinerja dari Menteri Kesehatan yang dianggap tidak menunjukkan kinerja yang memuaskan.

Ketiga, Menyatakan dukungan kepada Akun twitter @aqfiazfan dalam menyampaikan kritik pada pejabat dan Lembaga Negara hal ini merupakan bentuk kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dilindungi oleh konstitusi negara republik Indonesia.[/td_block_text_with_title]

Translate »