Home Artikel Catatan dari Diskusi Film “Bombshell”

Catatan dari Diskusi Film “Bombshell”

0

Apa yang akan kita lakukan bila seorang pemimpin mengambil hak kita untuk hidup tenang? Bertindak atau diam saja? Hati-hati mengatur strategi sambil menunggu kesempatan untuk menjatuhkannya? Pastinya, dibutuhkan keberanian sebesar gargantua untuk memulihkan perasaan hancurnya martabat karena intimidasi atas tubuh dan mental kita.

Sekitar 4 tahun lalu, media sosial gaduh mengungkap rentetan kasus pelecehan seksual melalui gerakan fenomenal Me Too. Gerakan ini merupakan buah dari pengakuan para korban yang berani mengungkap kisah mereka dalam upaya mencari keadilan yang dapat mengisi kekosongan harga diri. Usaha mereka tidak sia-sia. Tercatat lebih dari 200 tokoh penting yang dituduh melakukan pelecehan seksual.

Setahun setelah fenomena Me Too mencapai puncaknya, film Bombshell dirilis. Tanpa menerka-nerka maksud dari sutradara pun, kita bisa memastikan film ini terinspirasi dari – dan bisa jadi memanfaatkan momentum – Me Too yang belum padam.

Film produksi Lionsgate ini mengisahkan sejumlah pekerja perempuan yang mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh Roger Ailes yang merupakan CEO Fox News, salah satu media konservatif terbesar di Amerika Serikat.

Bombshell merupakan dramatisasi dari fenomena yang terjadi tanpa menghilangkan esensi dari kejadian sebenarnya, yakni bagaimana perempuan bereaksi dan bertindak menggulingkan penguasa/pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaannya. Tulisan ini merupakan kumpulan pemikiran yang kami rangkum dari acara diskusi film pada Senin (30/05) lalu dalam diskusi bersama Perkumpulan Dialoka.

Inti permasalahan film ini tidak lagi asing bagi kami. Bahkan terdengar cukup sederhana: pemimpin berkuasa di sebuah kantor yang menggunakan kekuasaannya guna kepuasan diri sendiri, tidak peduli bahwa itu menginjak harga diri dan batasan profesional yang susah payah dibangun para pegawainya. Mungkin juga ia bersikap demikian untuk mengukuhkan keangkuhannya, yakni “saya melecehkan kamu karena saya bisa dan saya tahu kamu harus melakukannya untuk saya”. No debate!

Pemimpin seperti Roger tidak kenal takut. Dengan kapital yang ada dalam genggamannya – baik itu kapital ekonomi (kekayaan) maupun kapital sosial, yakni jaringan sesama pelaku kekerasan seksual squad – ia bisa tidur nyenyak di bawah perlindungan ‘sesamanya’. Mereka siap pasang badan demi menutupi lingkaran pelaku kekerasan seksual.

Kenyataannya, banyak pemimpin institusi/organisasi yang menjadi pelaku kekerasan seksual kepada karyawannya. Inilah yang tidak bisa dipungkiri. Bahkan, di lembaga yang termasuk dianggap ‘bersih’ sekalipun, seperti organisasi non profit tak luput ditemukan adanya pelanggaran, sembunyi di balik selubung ‘pembebasan dari represi seksual’.

Sejak revolusi seksual di Barat tahun ‘60-an, perempuan seolah-olah sudah mendapat pembebasan, peak liberation; yakni pembebasan seksual belum tentu pembebasan perempuan. Faktanya, perempuan tetap dianggap menjadi properti. Bedanya, perempuan dalam institusi pernikahan monogami dipandang sebagai properti privat, sedangkan perempuan yang secara terbuka menampilkan ekspresi seksual dijadikan boneka properti publik.

Dari generasi flower boys, tokoh-tokoh gerakan berkarisma punya barisan pengagum yang mereka lihat sebagai properti seksual. Mereka sangat ingin membuktikan status alpha dalam gerakan yang merindukan kesetaraan: alpha-less society. Di dunia yang ideal, kekuasaan tidak akan memberikan akses tak terbatas terhadap tubuh orang lain. Sayangnya, para protagonis kita tidak hidup di dunia yang ideal. Tiga perempuan yang menjadi penyintas dalam film Bombshell ini harus meredam emosi dan reaksi demi mempertahankan karir di tempat mereka bekerja.

Setelah itu, lalu apa? Dalam film ini kita bisa melihat variasi tindakan penyintas setelah kejadian kekerasan seksual yang mereka alami. Megyn, yang sudah melupakannya dan justru menjadi rekan kerja dekat Roger; Gretchen yang mengambil ancang-ancang mencari perlindungan hukum; serta Kayla yang berusaha fokus pada karir dan mengubur kejadian kekerasan seksual yang dialaminya dalam-dalam. Dari ketiga protagonis ini,  Gretchen adalah tokoh krusial pencipta chaos yang mendorong perempuan lain di kantornya untuk ‘berpolitik’ dan harus menentukan sikap atas kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh atasannya.

Dengan bukti yang kuat serta dukungan mantan-mantan koleganya, akhirnya ia berhasil menjatuhkan pelaku ke dalam keterpurukan. Terima kasih pada sistem peradilan yang tidak tumpul ke atas. Namun bila dibandingkan dengan realita di negeri ini, hanya sedikit korban yang percaya diri menggantungkan harapan sepenuhnya pada hukum.

Protagonis punya cukup kemewahan untuk membayar pengacara top yang dapat mengantarkannya pada kemenangan. Sementara itu tidak semua perempuan korban mau berperang dalam ruang sidang apalagi mengingat kompleksitas dan biaya yang harus ditanggung. Hukum sebagai instrumen penegak keadilan tidak mampu melindungi korban sepenuhnya. Ingat kata Audre Lorde “the master’s tools will never dismantle the master’s house”.

Lantas bagaimana? Daripada kita sibuk terlalu fokus memikirkan hukuman apa yang pantas bagi pelaku, yang selama ini tidak efektif untuk menghentikan kekerasan seksual. Mungkin ada baiknya juga sekarang kita mulai fokus pada upaya menghapuskan intimidasi dan kekerasan seksual.

Kita semua, sebagai perempuan, laki-laki, atau non-binary harus mulai berbenah. Tidak bisa hanya mengharapkan yang lain untuk berbenah. Ini merupakan ajakan bagi perempuan untuk benar-benar merenungkan “apa yang bisa kita berikan demi berkurangnya cerita-cerita penindasan?”.

Mungkin kita bisa sepakat untuk memulai gerakan penggunaan kontrasepsi secara masif sampai ada konsensus penghapusan kekerasan seksual? Atau teman-teman heteroseksual bisa memulai kampanye hidup selibat untuk mendesak munculnya Konvensi Laki-laki Anti Kekerasan Seksual?” Ide-ide ini memang gila, tapi gila adalah dunia di mana kita ini bernapas. Persoalan gila harus diselesaikan dengan solusi yang gila juga. Mungkin?!

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Translate »